Asal kata pacaran itu konotasinya positif, cuma dipraktekan oleh perkembangan masa, oleh generasi-generasi menjadi negatif. Jadilah kemudian kata itu menjadi negatif. Dulu di Bilangan Melayu, terkhusus sampai ke kisaran sumatra dan medan dulu kalau ada orang melayu ingin dilamar, calon suami kemudian akan mendekat ke rumah calon istrinya.
Lalu dia membuat pantun ketika dekat itu, ketika membuat pantun sedemikian rupa yang menyatakan dirinya ingin diterima sebagai bagian dari keluarga, maka calon bapak mertuanya akan menangkapnya dari belakang.
Dibalas pantun itu, kalau benar-benar diterima dan kemudian terjadi lamaran maka, nah ini pointnya. Si tangan perempuan itu akan diberikan daun pacar. Maka sejak itu statusnya selama 40 hari akan dibimbing si calon istri oleh ibunya. Untuk bersiap-siap kursus dibimbing menjadi istri yang soleh. Bagaimana melayani suami dalam kebaikan.
Saat dipacari itulah proses menunggu selama 40 hari hari disebut dengan pacaran. Asalnya begitu, jadi pacaran itu dikenakan daun pacar. Cuma sekarang konotasinya jadi meluas jadi sesuatu yang tidak baik.
Maaf, bersentuhan tangan bukan pada waktunya, belum terjadi tapi syetannya luar biasa. Ingat, ada syetan yang hadir dalam rumahtangga bahkan sebelum itu terjadi. Jadi kalau belum terjadi ikrar atau akad itu syetan berusaha untuk mendekatkan supaya maksiat. Dilamar saja belum sudah naik becak bersama. Becaknya serasa milik berdua sehingga tukang becaknya tidak ada.
Sumber: Kajian Ust Adi Hidayat
EmoticonEmoticon